Tanggal 15 Januari Senin malam disertai hujan, tiga unit Kapal Cepat Torpedo kelas Jaguar membelah malam, salah satunya adalah KRI Matjan Tutul (Macan Tutul-EYD-red) dengan nomor lambung 650 melintasi perairan Arafura. Sebagaimana diketahui, KRI Macan Tutul yang di dalamnya berada Komodor Laut Yos Soedarso memimpin konvoi tersebut dan berada pada formasi kapal nomor dua. Kapal ini mendapat tembakan oleh mesin perang Belanda dan akhirnya tenggelam di laut Arafura yang memiliki kedalaman yang paling dalam mencapai 3,6 kilometer dasar lautnya.
Banyak kisah dan cerita menurut berbagai
versi yang kita terima tentang peristiwa heroik tesebut. Ada yang
menyebutkan adanya konspirasi di sana untuk menjatuhkan Komodor Laut Yos
Soedarso akibat berseteru diam-diam dengan Soedomo. Ada yang mengatakan
KRI Macan Tutul sengaja di sabotase sehingga tidak dapat memutar haluan
seperti 2 kapal lainnya yang dapat berpondah haluan 180 derajat pada
posisi saat kejadian Ada juga yang mengatakan bahwa Kapal tersebut
dihantam oleh pesawat udara Belanda dengan bom. Padahal ceritanya tidak
seperti kisah tersebut.
Mari kita dengarkan kisah dari sisa
saksi sejarah, pelaku peristiwa tersebut yang ternyata telah lama
mengasingkan dirinya dari publikasi dan perhatian umum seperti kisah
berikut ini.
Cerita seorang Juru Mesin di KRI Macan Tutul.
Namanya Soejono, usianya kini sekitar 65
tahun (pengakuannya). Entah sudah berganti nama apa tidak, yang jelas
ia masuk wajib Militer di Surabaya tahun 1960. Dia diterima di Angkatan
Laut. Setelah menjalani berbagai test dan penilaian dia diterima menjadi
juru mesin dan ditempatkan di kapal RI Macan Tutul.
Setelah hampir setahun ia berada di
sana, suatu hari ia melihat kapalnya sangat banyak diisi dengan makanan
dan amunisi untuk dibawa ke Irian Barat. Dari cerita ke cerita dengan
sesama rekan barulah diketahui tujuan mereka adalah ke Sorong untuk
memebebaskan Irian Barat dalam misi operasi Tiga Komando rakyat atau
Trikora.
Awalnya dia enggan bercerita. Sorot
matanya menerawang tatkala didesak apa yang dialaminya selama ikut
dalam pembebasan Irian barat. Dia menghela nafasnya. Ia mengatakan bahwa
selama ini ia menyimpan rapat-rapat rahasia itu kepada siapapun
termasuk tidak bercerita kepada anaknya sekalipun. Tapi kini ia merasa
perlu dan mau berterus terang . Hal ini terjadi setelah didesak berulang
kali dan mendapat kepastian bahwa jasanya dalam misi tersebut pasti
sangat dihargai oleh Pemerintah saat ini yang sedang menggiatkan program
Nasionalisme di seluru tanah air.
Ia mengatakan tak perlu lagi dengan
penghargaan apapun Ia merasa harusnya telah ikut mati saja pada saat
itu. bersama Komor Laut Yos Sudarso Ia merasa menyesal selamat dari
peristiwa tersebut setelah melihat kenyataan demi kenyataan dalam
membangun negara saat ini . “Sungguh sangat mengecewakan karena dipenuhi oleh pelaku koprupsi dan penjahat yang melukai ibu pertiwi..” katanya lirih.
Pak Soejono mulai bercerita. Malam itu
dia tidak memiliki firasat apa-apa. Dia seperti biasa hanya bertugas
mengurus mesin kapal agar berfungsi dengan optimal. Kapal baru dibeli
dari Jerman itu memang tidak mengalami kendala teknis seperti yang
terjadi pada KRI Singa yang urung beroperasi akibat kesalahan teknis.
Tapi pada misi rahasia ini dia dituntut memberi jaminan mesin kapal
dalam posisi terkendali.
Dia mengatakan ketika kapalnya berada di
sebuah kordinat sekitar Laut Aru, tiba tiba dia mendenngar suara
menggelegar di buritan kapal yang membuat kapal itu bergoyang dan oleng.
Sejenak kemudian kapal itu mulai terangkat haluannya. Seluruh ABK
panik dan berlarian mengambil posisi masing-masing.
Komodor Yos Sudarso dan Kapten Kapal
memilih bertahan di dalam ruang kemudi. Mereka mengikat dirinya pada
kemudi kapal bersama dengan surat-surat penting yang dapat mereka raih.
Dalam hitungan menit, kapal itu seperti mundur dan mulai tersedot oleh
laut. Dalam keadaan cuaca malam dan hujan satu persatu anak buah kapal
perang itu berlompatan jumpalitan ke laut.
Suara teriakan ABK pun kemudian senyap
hilang ditelan arus samudra Arafura yang terkenal dalam dan angker itu.
KRI Macan Tutul lennyap seketika tanpa bekas, tanpa tanda apapun ke
dasar samudra.
Pak Soejono bersama dua orang rekannya
(dia masih ingat namanya Prada Lucas dan Pratu Herman) berpegangan erat
pada benda yang mereka bawa saat mencebur ke laut. Mereka mengikatkan
tubun mereka masing-masing pada benda itu sehingga tetap mengapung
meskipun dalam keadaan lelah. Tidak disebutkan benada apakah itu, yang
jelas mampu mengapungkan mereka bertiga pada malam itu hingga beberapa
hari berikutnya.
Pada hari ke dua, cuca mendung, badan
mereka yang terus menerus basah membuat lapar dan haus tiada tara.
Menjelang sore, prada Lucas meninggal dunia akibat kelaparan dan shock.
Mereka berdua terpaksa melepaskan prada Lucas dari ikatannya ke laut.
Mereka memilih tidak membawa prada Lucas yang telah menjadi mayat karena
akan menganggu keselamatan mereka.
Dengan rasa sedih yang tidak terkira,
mereka memandang temannya itu mengapung di atas di atas laut sementara
waktu sebelum akhirnya tenggelam dari pandangan mereka berdua. Hanya doa
mereka panjatkan kepada sang Pencipta mengiringi kepergian teman mereka
tanpa tembakan salvo kehormatan dan tanpa upacara apapun.
Memasuki hari ke lima, giliran pratu
Herman yang meninggal setelah tidak mampu lagi menahan lapar dan kelehan
serta kedinginan yang amat sangat. Sekali lagi, kini pak Soejono yang
harus melepas sendiri ikatan pratu Herman. Kesedihannya kali ini hampir
membuatnya putus asa, rasanya ia ingin ikut serta karena tidak
mengetahui sampai berapa lagi menemukan harapan untuk hidup. Ia seperti
melihat penderitaan yang tidak bertepi, tak ada tanda-tanda adanya bala
bantuan untuk kembali hidup.
Hari ke Enam, ia mulai makan baju kaos
oblongnya sendiri. Hanya itulah makanan yang dia punya. Minum air laut
dan mengadahkan wajah ke langit saat hujan datang serta mengunyah baju
kaosnya sendiri tidak mampu mengobati lagi kekuatan hati dan fisiknya
untuk sadar. Akhirnya ia pingsan atau tidak sadarkan diri.
Ketika ia terbangun, dia menemukan
dirinya sudah terdampar di ujung pulau Sulawesi, tepatnya di daerah
Lokon Kabupaten Minahasa Manado, Sulut. Dia ternyata diselamatkan oleh
nelayan yang melihatnya mengapung di dekat pantai. Nelayan itu lalu
membawanya ke rumah mereka dan merawat pak Soejono selama 10 hari sampai
sehat dan kuat kembali.
Ketika dia sudah sehat dan kuat
ingatannya barulah dia sadar ternyata dia bertahan hidup di laut dalam
keadaan tak ada harapan untuk hidup selama seminggu lamanya, tapi
ternyata Tuhan maha penasih dan penyayang memberi takdir lain sehingga
pak Soejono diberi panjang usianya sampai kini.
Sebulan setelah peristiwa heroik
Setelah tinggal bersama nelayan selama
20 hari, atau hampir sebulan setelah peristiwa tenggelamnya KRI Macan
Tutul, pak Soejono memilih berangkat ke Makasar. Di sana ia membuat
laporan dan menyerahkan dirinya kepada Polisi Militer di Makasar. Kalau
tidak salah -katanya- ia akhirnya ditampung di mess Polisi Militer
selama hamir satu bulan lamanya.
Pada suatu hari, pak Soejono merasakan
betapa membosankan tinggal di barak tersebut tanpa bekerja apapun dan
tidak diberi tugas apapun, ia hanya makan, tidur, ngobrol, mondar-mandir
dan sekali-sekali temannya ingin mendengarkan kisahnya. Ia pun akhirnya
memilih minggat dari sana tanpa pemberitahuan.
Pak Soejono memilih berangkat ke
Surabaya. Dia pun menumpang kapal penumpang ke sana. Akan tetapi nasib
nahas, setiba di pelabuhan Tanjung Perak, sudah ada pihak Polisi Militer
yang “menjemputnya’ dan ia pun di bawa lagi ke markas. Tapi kali ini
pak Soejono terpaksa harus meringkuk di sel karena ternyata pak Soejono
dianggap melarikan diri dari pengawasan PM di Makassar.
Pak Soejono kecewa dan heran karena
tidak menduga sikapnya itu ternayta dianggap menyalahi aturan dalam
militer aktif. Akhirnya pak Soejono kembali ditahan dalam sel tahanan
militer untuk mendapat proses lebih lanjut.
Entah nasib apa yang dialami oleh pak
Soejono, kali ini ia bisa meloloskan diri dari tahanan militer tersebut.
Ia pun pergi jauh-jauh dari pulau jawa. Kali ini ia memilih Kalimantan
Barat sebagai tujuannya. Setibanya ia di Pontianak dia memilih tinggal
jauh dari Pontianak, ia tinggal di pedalaman sejauh 200 Km dari
Pontianak, tepatnya di sekitar Kabupaten Sanggau.
Di sini ia menemukan gadis idamannya
seorang wanita dari pulau Jawa yang berparas cantik dan menggoda
hatinya, mereka pun menikah. Setelah situasi dirasakan benar-benar aman,
barulah ia pindah ke Pontianak. Pak Soejono ingat, dia pindah ke
Pontianak pada saat Presiden Soeharto memasuki periode ke dua sebagai
presdien RI, jadi kalau tidak salah pada tahun 1975 atau 1976.
Kini di usia rentanya ke 66 tahun, pak
Soejono hanya mengisi hidupnya di rumah dengan mendengarkan berita,
membaca koran dan melihat kebun di depan halamannya rumahnya yang reot
dan kumuh. Tidak ada yang merawat pak Soejono. Penampilannya dengan
rambut seluruhnya uban, sorotan mata yang lelah, tubuh yang kurus dan
ringkih membuat pak Soejono tak ada yang mengira bahwa ialah salah satu
saksi hidup yang masih tertinggal untuk memberi cerita nyata betapa
kisah pertempuran di laut Aru yang mengorbankan Komodor Laut Yos Sudarso
ternyata menyisakan kenangan pilu salah satu ABK nya, yaitu pak
Soejono.
Meskipun terlihat ringkih dan kurus,
namun ketika coba disinggung tentang Nasionalisme dan kebangsaan
semagnatnya memuncak. Ia mengomentari betapa mengecewakan dirinya
melihat ulah dan polah para pejabat negara saat ini yang tega melukai
Ibu Pertiwi dengan mengatasnamakan kebangsaan dan nasionalisme melalui
Korupsi dan kejahatan terorganisir lainnya. Rasanya tak ada nilai dan
arti apa-apa yang telah diberikan oleh para pahlawan dan prajurit yang
telah rela mengorbankan jiwa dan raganya demi tanah air namun ternyata
hasilnya hanya melahirkan para pelaku kejahatan terhadap Ibu Pertiwi ini
dengan beraneka jenis kebohongan demi kebohongan.
Di akhir ceritanya, dia seperti
sesegukan ketika ditanyakan apakah mau dan bersedia diperkenalkan kepada
pejabat terkait bahwa ternyata masih ada saksi hidup atas peristiwa
besar dalam sejarah memperjuangkan Irian Barat pada masa Trikora, yaitu
dirinya sendiri?
Dia menghela nafasnya. Bola matanya yang
mulai kusam kelihatan berair, tapi dia berusaha tersenyum. Dia
mengatakan pelan sambil melihat kelangit-langit rumahnya yang rompal
penuh sarang laba-laba. “Biralah yang lalu berlalu. Saya tidak ingin
dikenang sebagai apa pun walau penghargaan setinggi apapun diberikan
kepada saya. Biarlah saya tenang sebelum kembali menghadap kepada Nya.
Saya tidak menginginkan apa-apa lagi selain persiapan amal saya sebelum
kembali kepada Nya”
Pertanyaan saya yang terakhir, “Bolehkan pertemuan ini saya masukkan ke dalam berita di Blog paling saya senangi?”(Kompasiana -red)
“Tak usah. Jangan pak. Jangan. Saya
tidak ingin dipublikasikan lagi. Jika pun dipublikasikan, saya tak akan
bersedia memberi komentar apapun dan pengakuan apapun nantinya jika ada
yang menanyakan tentang hal itu, karena saya menginginkan ketenangan
menjelang akhir hidup saya.”
Tanpa terasa saya telah berbicara dengan
bapak yang memilki pengalaman seru dan heroik ini hampir 90 menit.
Sebelum meninggalkan beliau di rumahnya itu, saya mohon izin memuat
kisah ini dengan catatan tidak akan memberi informasi apapun tentang keberadaannya karena pesan dari pelaku sejarah ini kepada saya memang seperti itu.
Tentu saya akan memberikan tulisan ini
kepada beliau dalam bentuk kliping setelah dicetak untuk menjadi
kenang-kenangan beliau sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan kita..
Kesimpulan :
Jika mengacu kepada cerita pak Soejono di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik, yaitu :
- Tenggelamnya RI Macan Tutul bukan karena oprasi Gabungan, jadi tidak perlu lagi ada polemik antara TNI AL dan AU.
- Tenggelamnya RI Macan Tutul bukan karena karena di bom oleh serangan pesawat Belanda, melainkan karena posisi Kapal kita telah terdeteksi oleh Belanda.
- Ada kemungkinan pergerakan konvoi Kapal Perang kita telah ‘bocor’ dan diintai oleh Belanda. Apakah awal bocornya di Jakarta atau di manapun yang jelas posisi kapal kita telah diketahui letaknya lebih dahulu sebelum sempat melakukan fase eksploitasi di Irian Barat.
- Tenggelamnya kapal RI Macan Tutul masih simpang siur. Kejadian yang sebenarnya adalah tanggal 15 Januari 1962, bukan tanggal 13 Januari, yakni bersamaan dengan gugurnya Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal*) Komodor Laut Yos Sudarso dalam usianya 36 tahun (lahir Salatiga 24 Nopember 1925).
Demikian rekan pembaca budiman, tulisan
ini dipersembahkan kepada pembaca semoga bermanfaat. Pesan dari tulisan
ini sederhana saja, yaitu Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa pahlawannya. Pesan terakhir Komodor Yos Soedarso pun masih terngiang-ngiang sampai sekarang “ Teruskan Perjuangan…!”
0 komentar:
Posting Komentar